Nilai “Keteguhan Hidup” Dalam Cerpen “Elegi Untuk Anwar Saeedy” Karya Martin Aleida

I. PENDAHULUAN

Sastra dan filsafat (pemikiran) memiliki hubungan yang erat. Sastra merupakan sarana yang sering dipergunakan untuk mencetuskan pendapat-pendapat yang hidup di dalam masyarakat kita (Luxemburg, 1989: 12). Sastra sering dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat. Analisis pemikiran pengarang secara perorangan tidaklah mudah karena sikap dan pemikiran tidak dapat diformalisasikan secara nyata dan jelas (Wellek dan Warren, 1995: 134, 143).

Makalah ini mencoba menemukan nilai-nilai filsafat atau pemikiran-pemikiran pengarang yang ingin disampaikan melalui karya sastranya, yaitu cerpen “Elegi untuk Anwar Saeedy” buah karya Martin Aleida (2001). Hal ini bisa kita lihat dari apa yang diceritakan dalam cerpen ini yang mengangkat mantan pejuang Gerakan Aceh Merdeka yang kemudian menjadi orang biasa. Karena itu, cerpen ini sarat akan nilai-nilai filosofis. Yang paling menonjol adalah nilai “keteguhan hidup”.

Dengan demikian, makalah ini membahas permasalahan sebagai berikut:

A.     Apa yang dimaksud dengan “keteguhan hidup” oleh pengarang yang tercermin di dalam cerpen tersebut di atas?

B.     Bagaimana nilai “keteguhan hidup’ ini diwujudkan di dalam cerpen ini?

II. KERANGKA KONSEPTUAL NILAI-NILAI FILSAFAT DALAM KARYA SASTRA

Sastra dan filsafat (pemikiran) memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat. Sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang hebat (Wellek dan Warren, 1995: 134). Pemikiran-pemikiran ini mencakup pemikiran-pemikiran besar dan pemikiran-pemikiran yang kurang terkenal dan biasanya merupakan “turunan” dari pemikiran-pemikiran besar tersebut (ibid.: 136). Filsafat dan pemikiran ini dalam konteks tertentu menambah nilai artistik karya sastra karena mendukung beberapa nilai artistik penting, seperti kompleksitas dan koherensi (ibid.: 152).

Pemikiran ini disampaikan pengarang melalui bahasa. Sastra diciptakan dengan bahasa yang baik dan mengandung tujuan yang mulia Karena diungkapkan melalui bahasa, maka kita bisa mengetahui nilai-nilai luhur pemikiran orang-orang bijak serta gagasan-gagasan yang baik pula. Dunia pemikiran ini adalah dunia mencari kebenaran, karena untuk mencari kebenaran, manusia harus berfikir. Namun kebenaran yang dapat dicapai oleh manusia bukanlah kebenaran yang mutlak atau absolut tapi kebenaran yang relatif dalam konteks-konteks tertentu saja. Kebenaran absolut adalah kebenaran yang dimiliki Tuhan karena kebenaran itu bersifat abadi dan untuk semua konteks (Darma, 2004: 35-36).

Dalam sastra modern, banyak pengarang muncul sebagai pribadi-pribadi, bukan sebagai kelompok yang merepresentasikan suatu aliran tertentu. Konsep kebenaran mereka bersifat individual dan berbeda-beda, sehingga kebenarannya sangat relatif, yaitu sangat benar berdasarkan sudut pandang masing-masing (ibid.: 37, 39).

Seperti halnya pembahasan sebelumnya, suatu karya sastra dapat mengungkapkan gagasan-gagasan atau pemikiran-pemikiran filosofis pengarang (Wellek dan Warren, 1995: 134, 143). Salah satu nilai filsafat yang dimaksud di atas adalah nilai-nilai etika. Etika dalam hal ini merupakan filsafat moral, yaitu asas-asa dan nilai-nilai yang dianggap baik dan buruk. Dengan demikian, etika membahas moralitas atau tingkah laku moral manusia (Bertens, 2002: 3, 6).

Penghayatan tentang baik dan buruk tentang perilaku manusia adalah dengan menggunakan hati nurani. Hati  nurani memiliki kedudukan yang kuat dalam hidup moral kita. Suatu konflik batin dapat terjadi di dalam hati nurani (ibid.: 49-50). Mengikuti hati nurani merupakan suatu hak dasar bagi setiap manusia. Tidak ada orang lain yang berwenang untuk campur tangan dalam putusan hati nurani seseorang. Tidak boleh terjadi apabila seseorang dipaksa untuk bertindak yang bertentangan dengan hati  nuraninya (ibid.: 61).

Hesnard dalam Bertens (ibid.: 76) menyatakan bahwa manusia harus membebaskan diri dari kecenderungan yang kurang sehat untuk berefleksi tentang dirinya dan memelihara suatu kehidupan batin yang tidak nyata. Ia harus melepaskan diri dari kebiasaan untuk menaruh perasaan bersalah. Oleh karena itu ia tidak boleh membiarkan dirinya terganggu oleh penderitaan yang tidak berguna itu. Jika terkurung saja dalam batinnya maka ia tidak dapat mengarahkan dirinya untuk pembangunan dunia. Rasa beraslah sebagai kecemasan untuk kecenderungan-kecenderungan yang tak teratur harus menghilang dan diganti dengan rasa hormat bagi orang lain. Hal inilah yang dapat mewujudkan kebahagiaan bagi manusia, sesamanya, dan masyarakat (ibid.: 77).

Kerangka berfikir inilah yang menjadi landasan teori penulis dalam menemukan nilai-nilai filsafat atau pemikiran-pemikiran filosofis pengarang dalam cerpen “Elegi untuk Anwar Saeedy”. Nilai-nilai filsafat yang dimaksud adalah yang paling menonjol dalam cerpen ini, yaitu nilai “keteguhan hidup”. Hasil temuan ini diharapkan dapat membantu kita dalam memahami karya sastra ini.

III. NILAI “KETEGUHAN HIDUP” DALAM CERPEN “ELEGI UNTUK ANWAR SAEEDY” KARYA MARTIN ALEYDA

Seperti halnya pembahasan sebelumnya, suatu karya sastra dapat mengungkapkan gagasan-gagasan atau pemikiran-pemikiran filosofis pengarang (Wellek dan Warren, 1995: 134, 143). Hal ini tercermin juga dalam cerpen “Elegi untuk Anwar Saeedy”. Cerpen ini mencitrakan pemikiran atau gagasan filosofis tentang kehidupan yang ingin disampaikan pengarangnya. Pemikiran-pemikiran filosofis pengarang yang paling menonjol dalam cerpen ini adalah nilai “keteguhan hidup”.

Yang dimaksud dengan “keteguhan hidup” menurut pengarang adalah semangat untuk tetap memperjuangkan hidup ini apa pun masalah yang dihadapi dan merintangi. Keteguhan ini tidak pupus oleh waktu dan tidak dipengaruhi oleh tingkat penghargaan yang akan diperoleh atas perjuangan tersebut.

Dalam cerpen ini, pengarang ingin menyampaikan gagasan filosofisnya bahwa dalam memperjuangkan sesuatu dalam kehidupan ini hendaklah dilakukan dengan tulus ikhlas dan tanpa pamrih. Suatu perjuangan yang suci tidak menuntut atau mengharapkan balasan. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan berikut ini:

Seperti yang pernah dikatakan gurunya, perjuangan tanpa pamrih itu seperti membuang hajat besar. Begitu selesai, menoleh pun kita tidak sudi. (hlm. 36)

Dan perjuangan tersebut harus tetap ditegakkan meskipun ada badai yang menghadang atau berbagai rintangan yang menghalangi karena tidak ada seorang pun di dunia ini yang mengetahui takdir apa yang telah ditetapkan Tuhan untuk dirinya termasuk apa yang akan terjadi esok, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini:

Tak seorang pun yang bisa menulis jalan nasibnya. Tak terkecuali Anwar Saeedy, orang yang sudah pernah mengelana sampai ke tepi dunia yang lain. (hlm. 41-42)

Namun perjuangan yang luhur itu kadang-kadang luntur bahkan pupus ketika dihadapkan pada realitas kehidupan dan kepahitan hidup, sebagaimana yang tertulis dalam kutipan berikut ini:

Namun, keteguhan sikapnya itu goyah oleh pahitnya hidup. (hlm. 36)

Tadi pagi, berat benar hatinya ketika akan bertolak ke jawatan sosial itu. Dia telah merasa mengkhianati dirinya sendiri. Tetapi soalnya sekarang, dia harus realistis dengan hidup yang dia hadapi. (hlm. 37)

Di samping itu, nilai-nilai luhur perjuangan yang suci tersebut dapat luntur oleh keinginan untuk mendapat pengakuan dari orang lain atas perjuangan dan jerih payahnya itu, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini:

Sebenarnya dia sudah pernah bersumpah untuk tidak mencari pengakuan atas apa yang telah dia kerjakan dengan tulus ketika dia masih seorang perjaka … Kalau yang telah dia sumbangkan itu memang diakui, biarlah pengakuan itu dating dengan sendirinya, katanya dalam hati. (hlm. 36)

Dan niat yang suci untuk memperjuangkan sesuatu yang luhur dalam kehidupan di dunia ini kelak akan menjadi kebaikan kita pada saat kita mengalami kematian. Perjuangan yang suci dan tanpa pamrih seseorang akan terbawa sampai mati, sehingga jasadnya juga tidak mau diperlakukan berbeda dan istimewa dibandingkan dengan jasad lainnya, sebagaimana yang terdapat di dalam kutipan berikut ini:

Sejujurnya, jasad yang sudah mati tidak mau didiskriminasikan. Dan, ukuran kebajikan yang ditinggalkan orang di dunia bukanlah letak liang lahatnya.

(hlm. 37)

Penodaan terhadap niat yang suci ini dapat juga menimbulkan keburukan dan kemalangan bagi si pengkhianat. Bahkan kejujuran yang ia tawarkan pun tidak merubah keadaan, sebagaimana yang tertulis dalam kutipan berikut ini:

“Apakah kejujuran sudah tak punya tempat lagi di negeri ini. Juga di tepi jalan ini?” hatinya menggugah. (hlm. 43)

Apabila hal ini berlangsung terus-menerus akan menimbulkan keputusasaan dan ketidakberdayaan yang dapat berujung kematian, seperti yang terdapat pada kutipan berikut ini:

Apa daya orang yang membanggakan diri sebagai pejuang dari Aceh, sebab tak lama kemudian seorang demi seorang dari kerumunan manusia itu mulai melengos pergi. (hlm. 41).

sampai beberapa hari kemudian Koran-koran menyiarkan berita kecil tentang laki-laki tua yang mati menggantung diri. (hlm. 49)

IV. PERWUJUDAN NILAI “KETEGUHAN HIDUP” DALAM CERPEN “ELEGI UNTUK ANWAR SAEEDY”

Nilai keteguhan hidup yang telah diuraikan di atas tercermin dalam cerpen “Elegi untuk Anwar Saeedy” karya Martin Aleida. Hal ini dicitrakan dan direalisasikan melalui tokoh utamanya, Anwar Saeedy. Pada masa mudanya, Anwar Saeedy, pemuda berdarah Aceh, memiliki niat suci dan semangat gigih serta tanpa pamrih untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan bagi rakyat Aceh dari rezim yang berkuasa yang menindas mereka. Meskipun untuk itu, ia harus berkeliling ke berbagai negara di dunia untuk menyuarakannya dan mencari dukungan mereka atas perjuangannya itu.

Setelah berusia lanjut, Anwar Saeedy kembali ke tanah airnya dan menjalani kehidupan sebagai orang biasa. Namun ia terus mengalami kemalangan dan kepahitan, akhirnya perjuangan yang suci dan ikhlas serta tanpa pamrih itu dinodainya dengan menuntut pengakuan dati pemerintah atas apa yang pernah ia perjuangkan untuk negara dan bangsanya. Karena dengan pengakuan dari pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat sebagai perintis kemerdekaan itu, ia dan keluarganya akan mendapat tunjangan dari pemerintah yang dapat menjamin kesejahteraan dirinya dan keluarganya.

Namun permintaan ini tidak digubris oleh pemerintah melalui jawatan sosial. Hal inilah yang memicu kemarahannya. Padahal ia telah menunjukkan bukti-buktinya, seperti pada kutipan berikut ini:

“Sungguh tak kusangka begitu busuknya perangai pegawai dari negara yang ikut kuperjuangkan kelahirannya,” jerit hatinya. (hlm. 35)

Sebenarnya hal menuntut pengakuan ini merupakan hal yang sangat dihindarinya ketika dia masih muda. Karena hal ini merupakan suatu bentuk pengkhianatan terhadap kesucian dan keluhuran perjuangannya tersebut. Tapi dia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali meminta pengakuan kepada pemerintah karena kemiskinan yang dialaminya dan keluarganya, sebagaimana yang tertera dalam kutipan berikut ini:

Tadi pagi, berat benar hatinya ketika akan bertolak ke jawatan sosial itu. Dia telah merasa mengkhianati dirinya sendiri. Tetapi soalnya sekarang, dia harus realistis dengan hidup yang dia hadapi. (hlm. 37)

Penolakan ini membuatnya berfikir untuk memulai usaha lain dengan cara menjual jamu khas Aceh di suatu stasiun kereta api. Namun keberuntungan tidak berpihak kepadanya. Dia terus-menerus merugi karena tak seorang pun mau membelinya. Banyak orang mengira bahwa ia hanya menipu orang seperti penjual jamu lainnya. Hal ini membuatnya sangat putus asa. Akhirnya ia mengakhiri hidupnya secara tragis. Ia mati bunuh diri. Ia mati bukan sebagai pahlawan atas perjuangan luhurnya namun sebagai seorang yang pengecut, sebagaimana yang terdapat di dalam kutipan berikut ini:

“Pak Saeedy penganut Islam yang kuat. Ingat, dia pengelana dunia. Lagipula orang Aceh tidak akan menjemput ajal dengan jalan pengecut seperti itu.” (hlm. 45-46)

V. PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa cerpen “Elegi untuk Anwar Saeedy ” karya Martin Aleida memiliki nilai-nilai fisafat atau pemikiran-pemikiran filosofis pengarangnya. Nilai filsafat yang paling menonjol adalah nilai “keteguhan hidup”. Dalam kehidupan kita mencari kebenaran. Dalam mencari kebenaran, kita harus berjuang keras, namun dengan tulus ikhlas tanpa menuntut  balas jasa apa pun atas perjuangan kita ini. Semangat perjuangan ini  harus kita hidupkan hingga akhir hidup kita, karena kita tidak mengetahui takdir kita.

Dalam hidup kadang-kadang kita dihadapkan pada pilihan-pilihan, kita dapat memilihnya sendiri atau takdirlah yang memilihnya untuk kita. Kalau takdir memilihkannya untuk kita, kita harus menerima dengan lapang dada dan ikhlas, Karena barangkali inilah yang memang terbaik untuk kita. Dan inilah nantinya yang akan membawa ketentraman hati kita. Oleh karena itu, kita harus tetap setia dan berpegang teguh terhadap komitmen yang telah kita tetapkan apa pun yang terjadi. Dan inilah merupakan solusi dari konflik tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Aleida, Martin. 2004. Jamangilak Tak Pernah Menangis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Bertens, K. 2002. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Kompas. 2001. Mata Yang Indah (Cerpen Pilihan Kompas 2001). Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Luxemburg, Jan van, dkk. 1991. Tentang Sastra (Penerjemah: Akhadiati Akram). Jakarta: Internusa.

Luxemburg, Jan van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra (Penerjemah: Dick Hartono).Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.

Wellek, Rene dan Warren, Austin. 2005. Teori Kesusasteraan (Terjemahan oleh Melani Budianta). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

LAMPIRAN-LAMPIRAN:

I. SINOPSIS CERPEN “ELEGI UNTUK ANWAR SAEEDY”

Anwar Saeedy adalah laki-laki berdarah Aceh. Ketika masih muda, ia berjuang untuk kemerdekaan tanah airnya melawan kaum penjajah. Ia bahkan harus berkeliling dunia untuk menyerukan dan mencari dukungan luar negeri bagi kemerdekaan dan kebebasam negerinya. Dengan kegigihan dan semangat pantang menyerah ia berjuang. Perjuangan itu juga disertai keikhlasan, ketulusan, dan tanpa pamrih serta tidak membutuhkan penghargaan orang lain atas perjuangan tersebut.

Ketika telah lanjut usia, dia pulang ke negerinya yang kini telah merdeka. Namun nasib baik dan keberuntungan tidak memihak dirinya dan keluarganya. Mereka selalu dirundung kemalangan dan kepahitan hidup. Pertanian dan perniagaan yang mereka kembangkan untuk menyambung hidup mereka, selalu menemui kegagalan.

Kesulitan hidup inilah yang akhirnya meluluhlantakkan nilai-nilai luhur perjuangan Pak Saeedy. Keteguhan hati dalam memperjuangkan kebenaran luntur oleh realitas kehidupan. Ia meminta pengakuan dari pemerintah atas perjuangan yang pernah dilakukannya berupa sertifikat perintis kemerdekaan. Dengan sertifikat tersebut, dia bisa mendapat tunjangan dari pemerintah untuk kesejahteraan dirinya dan keluarganya.

Namun permintaannya ditolak oleh pemerintah meskipun ia telah membawa cukup bukti tentang keikutsertaannya dalam memperjuangkan kemerdekaannya itu. Kemarahan dan kebencian mulai mendera dirinya. Ia lalu memutuskan untuk memulai usaha baru, yaitu menjadi pedagang kaki lima jamu khas Aceh. Tapi dia terus merugi karena tidak ada yang membelinya. Bahkan banyak orang yang menyangka dirinya seorang penipu. Dia menjadi sangat putus asa dengan kehidupannya, lalu dia mati bunuh diri. Pada akhirnya orang tidak menganggapnya sebagai seorang pahlawan kemerdekaan seperti yang ia dambakan semasa hidupnya, namun sebagai pengecut karena telah mengakhiri hidupnya dengan gantung diri.

II. BIOGRAFI PENGARANG

Martin Aleida lahir di Sungai Kepayang, Tanjung Balai, Sumatera Utara, pada tanggal 31 Desember 1943. Mulai menulis cerita pendek ketika masih duduk di Sekolah Menengah Atas dan diterbitkan di Indonesia Baru (Medan) dan Harian Rakyat (Jakarta), dua harian yang pada awal 1960an setiap hari memuat cerita pendek. Kumpulan cerita pendeknya yang pertama, Malam Kelabu, Iliyana dan Aku, serta Perempuan Depan Kaca terbit tahun 1998, disusul noveletnya, Layang-Layang itu Tak Lagi Mengepak Tinggi-Tinggi, yang terbit setahun kemudian. Cerita-ceritanya yang dikumpulkan dalam Leontin Dewangga (Penerbit Buku KOMPAS, Desember 2003) memperoleh Penghargaan Penulisan Karya Sastra Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004, yang diberikan berdasarkan”keajegan berkarya serta pencapaian artistik” (Aleida, 2004). Pada tahun yang sama dia menerbitkan novel “Jamangilak Tak Pernah Menangis”.

Selain dunia sastra, ia sempat bekerja sebagai jurnalis di majalah TEMPO, Stasiun TV dan Radio NHK Jepang. Ia juga pernah bergabung dengan United Nations Information Centre di Jakarta. Selain itu, ia juga menggeluti bidang pendidikan sebagai pembicara tamu dan dosen di beberapa universitas ternama di Indonesia dan sempat mengenyam pendidikan di School of Languages, Georgetown University, Washington DC. Pada tahun 1982 ia mengajukan pensiun dini.

Explore posts in the same categories: Cerpen

Tags:

You can comment below, or link to this permanent URL from your own site.

Leave a comment